Kamis, 17 November 2011

MemPapuakan Papua

HIDUP-ALAMI.jpg
ISTIMEWA
Warga Puncak Papua hidup alami di pegunungan asri Papua.

Kapolsek Mulia, AKP Dominggus Octavianus Awes, Senin (24/10/2011) lalu, tewas tragis di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua.

Dua orang diduga kelompok separatis, merebut revolver dan menembak hidung AKP Dominggus hingga tewas seketika. Sebagai anak bangsa, kita wajib berduka sekaligus menangis hati.

Tragedi ini bukan sekedar soal hukum atau cinta NKRI. Namun, jauh lebih pelik, bermuara janji yang tak pernah terealisasi tentang martabat masyarakat Papua. Benarkah penembak Kapolsek kelompok separatis seperti tuduhan Bupati Puncak Jaya Papua, Lukas Enembe?

Koordinator Organisasi Papua Merdeka, Lambertus Pekikir membantah secara meyakinkan. Memang terlalu dini menyimpulkan benang kusut puluhan tahun yang menyergap warga Papua. Maut Dominggus juga tak otomatis terkait rusuh Kongres Papua yang menewaskan enam warga sipil pekan lalu.

Sejak perusahaan Amerika Serikat menancapkan "kukuh" di Papua melalui PT Freeport Indonesia 1971, tak terhitung emas yang dieksploitasi. Pengakuan resmi Manager Corporate Communication PT Freeport, Mindo Pangaribuan, tiap hari minimal produksinya 9.000 troy ounce emas dan 1.800 ton tembaga.

Ironis. Warga Papua justru kian termarjinalkan dari keuntungan emas anugerah Tuhan ini. Pemerintah Indonesia bahkan hanya kebagian 1 miliar dolar AS per tahun. Di era pemerintahan Megawati, Menko Ekuin Kwik Kian Gie sempat gusar.

Freeport mirip foreign companies covered, perusahaan asing yang tertutup. Kwik tak mampu menembus keganjilan nilai setoran bagi hasil. Mengacu pola bagi hasil 85%:15% lazimnya industri Migas, nilai Rp 1 miliar dolar AS setahun, hanya setoran pajak, royalti dan dividen.

Berapa pendapatan negara kita dari bagi hasil penjualan tambang primadona dunia itu? Hingga kini tetap gelap. Kontrak karya yang diteken pemerintah dengan Freeport tahun 1967, ternyata mengacu pada UU Penanaman Modal Asing, bukan UU Pertambangan.

Tutup Mata
Runyamnya, rezim Soeharto tak pernah transparan hingga kontrak karya cacat diperpanjang 1991 silam. Posisi rakyat Papua kian terpinggirkan, karena pemerintah gagal mengentas harkat dan martabat melalui otonomi khusus.

Di antara fakta tak terbantah, korupsi Rp 37 miliar politisi Demokrat yang menjabat Bupati Boven Digoel Papua, Yusak Yaluwo. Yusak akhirnya divonis lima tahun penjara oleh MA karena terbukti korupsi pengadaan tanker LCT 180 Wambon dan APBD Boven Digoel 2002-2005 Rp 54,7 miliar.

Kekerasan demi kekerasan di Papua sulit dicegah lagi. Rakyat bak tanpa negara menghadapi Freeport berikut aparat keamanan maupun pemerintah setempat. Mereka berjuang hidup penuh kesulitan di antara penambang asing yang menyedot emas Papua.

Aib kerusakan lingkungan yang semula ditutup rapat pemerintah pun terungkap 2006 silam. Jaringan Advokasi Tambang menemukan pelanggaran PP Nomor 82/2001 yang melarang perusahaan tambang buang limbah tailing, limbah berlumpur mengandung logam berat ke sumber air.

Freeport terbukti membuang tailing ke Danau Wanagon melalui sungai. Kendati terbongkar, tak ada upaya konkret pemerintah, kecuali melindungi perusahaan asal AS itu. Akumulasinya, longsor Wasior merenggut ratusan nyawa rakyat dan ribuan mengungsi, serta rumah-rumah reot mereka hancur lebur.

Hingga kemarin, Papua krisis hidup aman. Masihkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tutup mata setelah mendapat iming-iming hibah belasan jet temput F-16 AS? Bagaimana dengan temuan Anggota Komisi I DPR Lily Wahid tentang aliran dana 14 juta dolar AS ke Polri dan TNI untuk pengamanan aset Freeport di Timika?

Rakyat Indonesia menyaksikan peristiwa berdarah melanda tanah Papua makin pedih sebulan terakhir. Memprihatinkan, pemerintahan SBY kehilangan kepekaan dan krisis cinta anak bangsa. Pemerintah justru lebih fokus mengerahkan TNI dan Brimob. Kapan kita sejajarkan harkat dan martabat saudara kita di Papua dengan WNI lain? (*)